Brendan Rodgers, Hidup dan Mati Bersama Bola



Di tangan Brendan Rodgers, 41 tahun, yang menangani Liverpool sejak 2012, klub legendaris berjuluk The Reds alias Si Merah ini sekarang seperti bangun lagi dari mimpi panjangnya untuk bangkit sebagai raksasa.

Di Liga Primer Inggris musim 2013-2014, Si Merah itu berperluang besar untuk menjadi juara liga setelah 14 tahun. Dan, Rodgers, pria asal Irlandia Utara, bukan pelatih dengan latar belakang sebagai pemain hebat seperti para legenda Liverpool tempo dulu: Kenny Dalglish, Kevin Keegan, Ian Rush, atau yang lainnya. Sama-sama tak pernah menjadi pemain berkelas wahid, Rodgers mengaku mengagumi Jose Mourinho.

Pelatih Liverpool itu juga tak pernah melupakan jasa pria asal Portugal yang kini kembali menangani Chelsea itu. “Saya tak akan bisa melangkah sejauh ini bila tanpa bantuan Jose,” kata Rodgers, awal tahun ini, mengenang kala dia diminta Mourinho menjadi pelatih kepala tim junior Chelsea pada 2004-2007. Namun, soal metode dan falsafah kepelatihan, dia bukanlah pengekor Mourinho.

 “Saya mengembangkan metode saya sendiri,” kata Rodgers. Gaya kepelatihannya dipuji banyak orang saat di Swansea. Kini giliran Liverpool menuai buah dari tangan dinginnya itu. Itu dilakukan Liverpool dengan gaya permainan indah, tak mengandalkan pertahanan seperti tim-tim asuhan Mourinho. Saat ini Liverpool tersubur dibanding 19 klub lain di Liga Primer. Hanya, Chelsea tercatat sebagai klub dengan tingkat kebobolan terendah, cuma 24 kali. Liverpool sudah 39 kali kemasukan.

 Sejauh ini, pihak manajemen Liverpool tak perlu mengeluarkan banyak uang untuk memodali kesuksesan Rodgers. Musim panas lalu, Rodgers hanya membutuhkan 19,3 juta pound sterling. Sedangkan Chelsea harus merogoh kocek 60,7 juta pound dan Manchester City, yang sekarang berada di peringkat ketiga, mengeluarkan uang 86 juta pound. “Mati bersama bola!” Begitulah Rodgers menyebut falsafah sepak bolanya. Kalimat itu dia lontarkan saat menangani Swansea pada 2010-2012. Pria kelahiran Carnlough, Irlandia Utara, ini ingin menggambarkan betapa pentingnya penguasaan bola. Itu artinya, para pemainnya harus mempertahankan bola selama mungkin.

Tak mengherankan bila saat ditangani Rodgers, penguasaan bola Swansea rata-rata mencapai 68 persen. Swansea dia bawa berpromosi ke Liga Primer. Dalam kompetisi teratas Liga Inggris ini, performa klub kecil asal Wales itu tak mengecewakan pada musim 2011/2012. Mereka berhasil mencuri poin dari klub-klub besar semacam Liverpool, Newcastle United, dan Tottenham Hotspur. Bahkan Chelsea berhasil mereka tahan imbang dua kali. Pada akhir musim, The Swans berada di peringkat kesebelas. Para pengamat memuji gaya bermain Swansea yang mirip tiki-taka milik Barcelona.

 Liverpool pun memanggilnya untuk menggantikan Kenny Dalglish. Rodgers membawa falsafahnya ke Anfield. Awalnya tak berjalan lancar. Steven Gerrard dan kawan-kawan melakukan start terburuk di liga dalam 40 tahun terakhir. Mereka cuma mendulang tiga kali kemenangan dalam 12 laga dan berada di peringkat ke-17. Adaptasi pemain Liverpool dengan pelatih baru mereka membaik pada paruh kedua musim 2012/2013. Mereka akhirnya berhasil menduduki peringkat ketujuh pada akhir musim.

 Memang tak sefenomenal Swansea dalam hal penguasaan bola, tapi Liverpool saat itu terbilang dominan dalam bermain: rata-rata 57,2 persen menguasai bola dalam satu laga. Mendominasi permainan, mencoba menekan lawan sampai jauh, lantas mencetak gol, Luis Suarez dan kawan-kawan mengoleksi total 71 gol. Inilah uniknya. Sejauh ini koleksi gol Liverpool telah jauh melewati yang berhasil mereka bukukan pada musim lalu.

Namun, secara statistik penguasaan bola, klub dari kota pelabuhan ini justru mengalami penurunan, sekarang 54,4 persen. “Pelatih memiliki cara pandang baru,” kata gelandang Joe Allen. Rodgers mengakui hal ini. “Saya ingin tim saya mengontrol permainan tanpa menguasai bola.” Sebagian pengamat menyebut Rodgers terilhami oleh kesuksesan Borussia Dormund melaju ke final Liga Champions musim lalu. Bermain rapat dengan pertahanan tinggi, menekan lawan saat kehilangan bola, dan secepatnya melakukan serangan balik bila ada kesempatan, Dortmund sukses mengandaskan pemilik tiki-taka, Barcelona, dalam perjalanan ke final. Pers Jerman menyerbut gaya tim asuhan Juergen Klopp itu sebagai gegenpressing.

 Rodgers tak pernah mengiyakan atau menampik analisis itu. Hanya, dia memiliki dua penyerang bergaya ortodoks yang menjadi modal untuk gaya bermain counterattack: Suarez yang sudah mencetak 29 gol dan Daniel Sturridge 20 gol. Mereka masing-masing berada di puncak top scorer dan runner up top scorer. Gerrard, yang jamaknya menjadi gelandang serang, kini difungsikan menjadi gelandang pengatur sekaligus pemain bertahan di lini kedua. Rodgers ternyata lentur. Falsafah sepak bolanya dapat berubah seiring dengan perkembangan.

0 komentar:

Copyright © 2012 Say Ready For Future.